Kamis, 11 November 2010



Pertambahan jumlah penduduk yang cepat di masa lampau, menyebab­kan saat ini pemerintah menghadapi adanya situasi sulit yang menimpa masyarakat, khususnya pedesaan di Jawa. Hal ini telihat dari kenyataan banyaknya potensi sumberdaya alam menjadi semakin terbatas; berkurangnya pemilikan lahan pertanian;  dan nilai tukar yang semakin buruk antara hasil pertanian dengan hasil industri. Akibat dari keadaan ini terjadi proses pemiskinan sumberdaya manusia, jumlah kelompok miskin menjadi semakin banyak dan bahkan cenderung terjadi pada sebagian besar masyara­kat pedesaan. Proses semacam ini disebut oleh Geertz disebut "involusi pertanian", yang merupakan proses pembagian kemiski­nan. Masyarakat yang terjangkit penyakit involusi inilah yang mewarisi potensi sumberdaya yang kapabilitasnya rendah. Pada umumnya dalam jangka panjang akan menyebabkan para warganya tidak memiliki kemampuan untuk melihat jauh ke depan, tidak memiliki keberanian menanggung resiko, kurang memiliki inisia­tif, kurang memiliki kemampuan melihat potensi/peluang yang ada, buta informasi dan akhirnya dapat menjurus menjadi fatalis.
Proses pengentasan masyarakat dari fenomena involusi pertani­an akan berhasil apabila terjadi pendinamisan masyarakat secara keseluruhan. Disamping itu pola adaptasi baru akan dapat dilalui masyarkat apabila tidak ada perintang yang dapat menghambat terjadinya perkembangan tersebut. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila ada intervensi pemerintah secara langsung dan cukup intense, yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan dengan jalan pembangunan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan dasar.
Dalam rangka program pengentasan kemiskinan telah dirancang berbagai program pembinaan sumberdaya manusia dan sekaligus memperbaiki tingkat kesejahteraannya. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memeratakan akses seluruh masyarakat terhadap proses pembangunan dan hasil-hasilnya. Selain itu perlu adanya perhatian khusus terhadap kelompok masyarakat miskin yang relatif tertinggal dan belum beruntung dibandingkan dengan kelompok lainnya. Penanganan kemiskinan pada prinsip­nya merupakan pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan kondisi sumberdaya alam yang tidak menguntungkan dan  rendah­nya akses kelompok masyarakat miskin terhadap peluang- pel­uang yang tersedia.
Oleh karena itu upaya pengentasan yang  harus diarahkan pada:
(a).  Meningkatkan kualitas dan kemampuan sumberdaya manusia, melalui jalur pelayanan pendidikan (transfer IPTEK), pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi.
(b).  Mengembangkan tingkat partisipasi penduduk miskin secara sinergis untuk membentuk kelompok sehingga mempunyai posisi tawar yang lebih kuat dalam bernegosiasi dengan pihak lain
(c).  Mengembangkan dan membuka usaha produk­tif yang dapat diakses oleh kelompok masyarakat miskin secara berkelanjutan.
(d).  Memperbesar akses masyarakat miskin dalam penguasaan faktor p faktor produksi.
(e). Pemihakan kebijakan publik yang mampu mendorong peningkatan daya beli masyarakat miskin
           
Dengan mengacu kepada lima arah tersebut maka bantuan program pembangunan harus diberikan dalam bentuk kegiatan yang dapat meningkatkan penghasilan, kemampuan berusaha, upaya meringankan beban hidup masyarakat, pemenuhan prasarana dasar sosial, pembe­rian modal kerja melalui kelompok swadaya masyarakat (KSM) untuk dapat digulirkan lebih lanjut dan pembangunan /rehabilitasi sarana  dan  prasarana fisik yang menunjang kegiatan produktif, pemasaran hasil produksi pedesaan, dan perbaikan mutu lingkungan pemukiman hidup.
Usaha lain yang sedang dirancang Pemerintah pada awal PJPT II, yakni melalui konsep Program bantuan khusus untuk wilayah dengan kelompok masyarakat miskin yang cukup besar.  Usaha Pemerintah pada kenyataannya masih menghadapi permasalahan, yakni (a) Kurangnya data aktual untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi kelompok miskin ; (b) belum diketahuinya proyek- proyek yang dibutuhkan untuk kelompok masyarakat miskin; (c) belum diketahuinya katagori kelompok sasaran yang relevan dengan jenis proyek yang akan diintroduksikan.

 Beberapa Permasalahan
"Kemiskinan dapat dirumuskan sebagai keadaan dari masyarakat yang hidup serba kekurangan, yang terjadi bukan karena dike­hendaki oleh mereka."
Keadaan sosial ekonomi masyarakat miskin di wilayah pedesaan masih ditandai oleh pertambahan penduduk yang cukup pesat, dan sebagian terbesar masih tergantung pada sektor pertanian dan sektor-sektor tradisional.  Dalam situasi seperti ini tekanan terhadap sumberdaya lahan semakin besar dan rata-rata penguasaan aset lahan setiap rumah tangga semakin minim, bahkan banyak rumahtangga yang tidak memiliki lahan garapan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi dampak keterbatasan lahan pertanian tersebut, baik melalui program intensifikasi pertanian, transmigrasi, maupun pengem­bangan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha dalam sektor non-pertanian di pedesaan.  Sementara itu sejumlah penduduk pedesaan mengambil jalan pintas untuk menolong dirinya sen­diri melalui urbanisasi ke kota.  Penduduk yang tetap tinggal di desa harus bersedia hidup dalam situasi subsistensi dan involutif. 
Beberapa permasalahan epenting adalah sbb:
(1). Seseorang termasuk miskin kalau tingkat pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang a.l. meliputi pangan, sandang, perumahan, pendidikan  dan kesehatan. Hal ini dapat disebabkan oleh terlalu besarnya jumlah anggota keluarga atau karena rendahnya produktivitas atau kombinasi keduanya.  Rendahnya produktivitas tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor, seperti mengangggur atau setengah menganggur, rendahnya pendidikan dan terbatasnya ketrampilan, atau rendahnya tingkat kesehatan dan gizi.  Hal yang memprihatinkan ialah bahwa kemiskinan tersebut dapat "menurun" kepada generasi berikutnya.
(2). Upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin lebih lanjut akan semakin sulit karena penduduk miskin  yang tersi­sa adalah  yang peling rendah kemampuannya untuk dapat meno­long diri, semakin terpusat di kantong- kantong kemiskinan dan semakin sulit jangkauannya.  Kebijaksanaan yang berlaku umum kana semakin tidak efektif dan peran utamanya harus digantikan dengan kebijaksanaan khusus  yang langsung dituju­kan kepada dan untuk orang miskin.  Harus dapat dikembangkan strategi yang diarahkan  secara khusus kepada wilayah dan kelompok miskin. Untuk itu pertama-taha harus diketahui  sumber penyebab  kemiskinan, bersifat struktural atau kultur­al, atau karena kondisi lingkungan fisik. Langkah selanjutnya adalah merumuskan  program khusus untuk mengatasi penyebab kemiskinan tersebut.
(3). Pemantauan profil penduduk miskin telah mulai dilakukan, dan telah diperoleh gambaran mengenai persebaran penduduk miskin yang dapat digunakan untuk merumuskan  kebijaksanaan pengentasan kemiskinan.  Profil rumahtangga  dan wilayah miskin yang ada pada kita mengindikasikan bahwa  penanggulan­gan  kemiskinan di pedesaan dan perkotaan, perlu dibedakan  jenis programnya, kegiatan dan bentuk bantuan yang akan dilak­sanakan.  Hal ini menegaskan bahwa program penang gulangan kemiskinan perlu sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.
(4). Keberhasilan dan efektivitas program  penanggulangan kemiskinan  dalam menjangkau orang miskin ditentukan oleh  keterpaduan dalam  peren canaan dan pelaksanaan berbagai program anti kemiskinan.  Program penanggulangan kemiskinan harus berisi pedoman-pedoman umum peningkatan perhatian  kepada masalah- masalah  kemiskinan.  Pedoman tersebut pada dasarnya berisi:
(a). Peningkatan dan penyempurnaan  program-program pembangu­nan  pedesaan yang telah  ada baik yang bersifat sektoral maupun regional termasuk program Inpres dan swadaya masyara­kat,
(b).  Peningkatan desentralisasi dan otonomi dalam pengambilan keputusan,
(c).  Peningkatan peran serta masyarakat secara aktif dengan pendampingan yang efektif.

(5). Pada hakekatnya masalah kemiskinan tidak terlepas dari masalah yang lebih besar, yaitu masalah ketimpangan antar wilayah dan antar golongan penduduk.  Masalah ketimpangan ini sangat rumit dan hanya dapat diatasi secara bertahap berke­sinbambungan. Ketimpangan sosial, yang melibatkan berbagai lapisan masyarakayt merupakan masalah yang mendesak.  Kesem­patan yang  terbuka oleh berbagai kegiatan pembangunan telah dapat dimanfaatkan  secara lebih baik oleh sekelompok  masya­rakat dibandingkan dengan  masyarakat lainnya.  Prakarsa perorangan seperti ini telah mengem bangkan  kelas pengusaha  nasional yang  selama ini telah menyum bang kepada  pertumbu­han ekonomi dan penyediaan  lapangan kerja  khususnya di sektor industri. 

Faktor Penyebab Kemiskinan
Beberapa hal yang diperkirakan menjadi penyebab kemiskinan di pedesaan adalah:

(1). Permasalahan rendahnya Kapabilitas dan Ketersediaan Sumber daya Alam bagi proses produksi primer. Rendahnya kqalitas sumberdaya lahan megakibatkan tingginya biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani produsen, akibat selan­jutnya ialah proses produksi kurang efisien dan harga jual produk yang relatif tinggi dibandingkan dengna produk sejenis dari tempat lain.
(2).  Permasalahan tata nilai (etos).   
Kemiskinan yang telah berjalan dalam dimensi ruang dan waktu yang luas dan lama, dan telah mewarnai pengalaman kesejarahan berjuta penduduk, ternyata telah menyebabkan kemiskinan diterima sebagai bagian yang sah dari kehidupan dan mewarnai sistem nilai dan struktur sosial masyarakat. Kemiskinan diterima sebagai keniscayaan yang tidak perlu dipermasalahkan lagi.  Setiap usaha mengentas kemiskinan menjadi pekerjaan yang tidak mudah dan bahkan dipandang aneh dan mungkin dianggap "asosial".  Dalam situasi budaya seperti ini maka gejala kemiskin an tidak cukup kalau hanya dievaluasi sebagai fungsi dari keterbatasan peker­jaan, pendapatan, pendidikan, dan kesehatan saja, tetapi juga harus diperhatikan adanya fakta bahwa mereka juga "miskin" terhadap makna kemiskinan itu sendiri.
(3). Keterbatasan penguasaan faktor produksi pertanian, khususnya la han usaha.  Sejumlah besar rumah tangga petani tidak memi-liki lahan garapan (sawah) atau hanya menguasai lahan sangat sempit (kurang dari 0,05ha).
(4). Surplus tenagakerja pedesaan dengan ketrampilan teknis dan manajemen yang terbatas, karena keterbatasan berlatih (bukan keterbatasan pendidikan).  Sebagian besar tenaga­kerja (penduduk usia produktif) sedang  menganggur dalam berbagai tingkat pengangguran.
(5). Keterbatasan lapangan kerja dan lapangan usaha di sektor pertanian, baik akibat keterbatasan  lahan pertanian  maupun sebagai akibat "keterlemparan" akibat masuknya input pertanian modern. Sementara itu lapangan pekerjaan non pertanian belum cukup ditunjang oleh tradisi bisnis desa. Walaupun tenagakerja paling banyak di sektor perta­nian (50- 60%), namun hampir separuh (40-45%) dari pekerja ini bekerja pada keluarga sendiri yang tidak dibayar.
(6). Keterbatasan alternatif pilihan teknologi budidaya untuk komoditi pertanian yang ekonomis, teknologi pasca panen dan pengolahan hasil, serta teknologi non pertanian. Kelompok masyarakat miskin di desa  tidak mempunyai akses yang memadai untuk  menentukan alternatif usaha tanaman dan agro-teknologinya, sehingga produktivitas marginalnya sangat rendah.  Perkem-bangan lapangan kerja non pertanian juga belum didukung oleh teknologi tepat guna yang mema­dai, atau masih bersifat kecil-kecilan dan sederhana sekali.
(7). Keterbatasan informasi, pembinaan, fasilitas permodalan, proteksi usaha dan kesempatan (opportunity), suatu lingka­ran yang lazim dalam bisnis modern.  Hampir dalam setiap kegiatannya mereka harus melakukan secara swakarsa dan bersedia untuk harus puas dengan  apa yang menjadi milik­nya saja, tanpa keinginan untuk lebih dari apa yang mung­kin.  Sementara itu faktor produksi unggulan tersebut dikuasai oleh sektor perkotaan industrial, terutama dalam wujud informasi, teknologi dan fasilitas per-kreditan.
(8). Nilai tukar perdagangan (term of trade) barang produk pedesaan lebih rendah terhadap barang produk perkotaan atau sektor modern. Hal ini mengakibatkan warga desa  kurang memperoleh surplus yang berarti, hampir dalam semua lapangan pekerjaan yang dilakukan, sehingga tidak memung­kinkan melakukan akumulasi kapital.  Hal ini dapat dilihat dari rendahnya nilai tukar pdtani.
(9). Terbatasnya volume uang yang beredar di pedesaan, hal ini merupakan dampak dari produktivitas marjinal yang sangat rendah atau nol dan keterbatasan  fasilitas kredit resmi yang masuk ke desa.  Sebagian besar penduduk di pedesaan miskin  jika memer lukan kredit untuk tambahan modal akan mencari pada saluran kredit atau lembaga keuangan non- formal. 
(10). Kebijakan pemerintah yang lebih menitik beratkan pada laju pertumbuhan ekonomi, ternyata berdampak negatif terhadap kelompok masyarakat miskin.  Demikian juga kebijakan pertanian  yang dititikberatkan kepada swasembada pangan nasional dan kurang mengacu kepada pemenuhan konsumsi pedesaan telah menyebabkan  sektor pedesaan/pertanian hanya berfungsi seba-gai penyangga stabilitas ekonomi nasional,  dengan keterbatasan akses untuk menentukan pilihan ekonomis.
(11). Belum berfungsinya kelembagaan swadaya masyarakat di pede saan yang mampu menampung prakarsa, peran-serta dan swa­daya masyarakat untuk mengentas diri sendiri.  Kelembagaan yang ada masih kurang fungsional dan/atau tingkat swadaya rendah. 
(12).  Rendahnya tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin yang pada kenyataannya sangat berhubungan erat dengan (1). Masalah pendapatan yang diperoleh, (2). Masalah Gizi dan pangan, (3). Masalah kesehatan, (4). Masalah kematian, (5). Masalah lingkungan pemukiman, (6). Masalah Pendidi­kan, (7). Masalah penguasaan IPTEK/Ketrampilan, (8). Masalah pemilikan lahan, (9). Masalah Kesempatan kerja, dan (10). Masalah prasarana/sarana kebutuhan dasar.

Pada kenyataannya masalah-masalah tersebut di atas dapat dike- lompokkan menjadi tiga golongan, yaitu (1) masalah-masalah sistem nilai (etos) dan kelembagaan infrastruktur, (2) masalah- masalah struktural, khususnya keterbatasan penguasaan sumberdaya dan faktor produksi pertanian, serta kelimpahan tenagakerja; dan (3) masalah-masalah kebijakan dan pendekatan model pembangunan. Fenomena kemiskinan buatan (atau pengaruh) lingkungan alam berpangkal dari sumberdaya alam yang gersang, misalnya tak mencukupi dalam mendukung hidup sejumlah penduduk yang bertambah dan hidup dari alam itu. Sedangkan fenomena kemiskinan buatan manusia (masyarakat sendiri), disebabkan oleh lingkungan sosial ekonomi dan budaya.  Ada struktur kemiskinan yang menjadikan sebagian orang miskin (lapisan bawah) sedang sebagian lain (lapisan atas) serba cukup, bahkan kaya, serba kuasa, mampu mengembangkan kekayaan yang sebagian berasal dari upaya nafkah golongan miskin.  Ada juga fihak yang mengalihkan perhatian pada "budaya miskin" (miskin karena malas atau berciri negatif lain: fatalistik, cepat menyerah kalah).  Sebaliknya golongan kaya mempunyai motivasi kuat dan sifat-sifat terpuji (positif) lainnya dan mencapai kesejahte­raan tinggi.  Dua pencirian itu dikontraskan dan dipisahkan satu dari yang lain.  Tergantung dari sisi mana pendekatan orang, upaya orang luar dalam membantu mengatasinya menunjuk­kan corak yang berbeda-beda.


Profil Wilayah dan Masyarakat Miskin

Profil Wilayah
Lima faktor yang dianggap berkaitan langsung dengan fenomena kemiskinan wilayah pedesaan, yaitu (a) kapabilitas sumberdaya lahan yang rendah, (b) lokasi yang terisolir dan/atau terba­tasnya sarana dan prasarana fisik, (c) keterbatasan pengua­saan modal dan teknologi, (d) lemahnya kemampuan kelembagaan (formal dan non-formal) penunjang pembangunan di tingkat pedesaan, dan (e) masih rendahnya akses sosial masyarakat terhadap peluang-peluang "bisnis" yang ada.

Lokasi
Lokasi desa miskin pada umumnya jauh dari pusat-pusat pela­yanan "Kota Kecamatan".  Keterbatasan sarana dan prasarana perhubungan, area yang luas, dan kondisi bentang lahan dengan topografi "berat" mengakibatkan transfer informasi, materi dan moneter antara desa dengan pusat pelayanan formal menjadi sangat terbatas. Pada umumnya transportasi antar desa dalam wilayah kecamatan masih sangat terbatas.

a. Keadaan Agroekologi
Rataan curah hujan tahunan di wilayah miskin umumnya berkisar antara 1000 - 2000 mm, dengan suhu rata-rata berkisar 22oC - 26oC. Gambaran umum neraca lengas lahan dan lamanya musim pertumbuhan selama setahun dicirikan oleh defisit lengas selama 3-5 bulan. Jenis tanah yang dominan adalah, mediteran , kambisol dan litosol  dengan teskstur liat hingga lempung . Tingkat kesuburan tanahnya beragam dari rendah (litosol) hingga tinggi (Kambisol dan Mediteran). Kondisi bentang lahan di wilayah pedesaan miskin dicirikan oleh bentuk lahan bergelombang dan berbukit (rata-rata 60-80% dari total luas wilayah) , dan sisa­nya merupakan lahan berombak hingga datar.  Daerah datar hingga berombak dikelola penduduk sebagai  lahan pertanian tanaman pangan (sawah tadah hujan dan tegalan), sedangkan kebun campuran umumnya berlokasi di daerah bergelombang hingga berbukit.

b. Penggunaan Lahan dan Sistem Produksi Pertanian
Penggunaan lahan pertanian didominasi oleh lahan kering tadah hujan. Sistem pertanian lahan kering merupakan penggunaan terluas  (60-80%) yang dikelolah oleh penduduk setempat, berupa tegalan dengan tanaman palawija dan kebun campuran dengan aneka tanaman tahunan. Ikhtisar umum tentang pola penggunaan lahan sekarang dicirikan oleh domonasi luas lahan kering, lahan ini dikelola sebagai tegalan, kebun campuran, pekarangan, dan hutan/agroforestry. Faktor pembatas yang dihadapi adalah defisit lengas selama 3-5 bulan selama musim kemarau, sehingga membatasi pilihan pola tanam. Sistem produksi tanaman pangan pada lahan kering (tegal) merupakan sistem tata guna lahan yang utama, namun produktivitasnya sangat rendah. Demikian juga lahan persa­wahan mempunyai produktifitas padi yang relatif rendah: 1,5 - < 5 ton/ha. Kendala yang diperkirakan ada adalah kualitas tanah, ketersediaan air, dan/atau pengelolaannya. Kalender penanaman ditandai oleh polatanam dengan tanaman jagung, ubikayu. Jarak tanaman yang terlalu lebar, varitas lokal dan adanya persaingan antara tanaman-tanaman ini (untuk memperoleh unsur hara dan air), dan gulma diduga menjadi sebab produktivitas pola tanam tersebut rendah.
Ikhtisar tataguna lahan menunjukkan rendahnya produktivi­tas lahan kering serta pekarangan dan kecilnya peran pohon buah- buahan dalam sistem usahatani. Tanaman pohgon buah-buahan tropis mempunyai peluang cukup baik untuk intensifikasi lahan pekaran­gan. Pemilihan jenis-jenis tanaman buah-buahan yang sesuai secara agroekologi hendaknya berdasarkan pada kreteria : (i) potensi pasar, (ii) produktivitas dan umur ekonomis, (iii) potensi untuk teknologi pengolahan buah-buahan, (iv) hubungannya dengan komoditi-komoditi lain, dan (v) pemillikan oleh petani.                  
Sapi potong/kerja biasanya dipelihara untuk membantu menggarap lahan, dan/atau digemukkan untuk menghasilkan daging. Hijauan makanan ternak terdiri dari sisa-sisa panen , rumput- rumputan dan daun-daunan setempat yang mutunya beragam . Akhir- akhir ini ada beberapa petani yang mulai menanam rumput gajah. Pada musim kemarau para petani menjual sebagian kambing-kambing atau sapi-sapi mereka dan membeli bibit ternak pada awal musim hujan. Gambaran kalender kebutuhan akan hijauan makanan ternak musiman di lahan kering dicirikan oleh kurangnya pakan di musim kemarau selama 3-4 bulan. "Ayam kampung" merupakan jenis unggas tradisional yang memberikan sumbangan pendapatan rumahtangga secara kontinyu. Di beberapa lokasi pengelolaan ayam kampung dilakukan dengan sistem kandang bersama yang dikelola oleh kelompok swa­daya masyarakat.

c. Sumberdaya Hutan dan Air
Sumberdaya hutan di sekitar kawasan pemukiman pedesaan memberikan sumbangan yang cukup "berarti" bagi masyarakat di sekitarnya. Hasil hutan yang lazim dimanfaatkan penduduk adalah kayu bakar, hijauan pakan, dedaunan, dan rotan. Di beberapa lokasi intervensi masyarakat terhadap kawasan hutan telah me­lampaui batas yang diperbolehkan, sehingga diperlukan strategi khusus untuk mengarahkannya. Program penghijauan di banyak lokasi belum mampu menggalang partisipasi masyarakat secara epenuh, sehingga tingkat keberhasilannxa belum memuaskan .
Air yang dapat dimanfaatkan adalah air hujan, air permukaan (mata air, sungai, danau), dan air bawah tanah (groundwater). Surplus air hujan yang terjadi selama 3-5 bulan pada musim penghujan belum dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian.  Surplus air hujan ini sebagian besar menjadi run- off karena kapasitas infiltrasi tanah umumnya agak rendah dan kemiringan lahan umumnya lebih dari 15%.  Tindakan untuk menahan dan menam­pung surplus air hujan ini di tempat jatuhnya dipandang mempun­yai peluang yang cukup baik untuk memperbaiki tata air.

d. Demografi dan Kependudukan
Sistem pendidikan masyarakat di wilayah pedesaan miskin secara fungsional dilayani oleh berbagai kelembagaan pendidikan formal dan nonformal. Peranan lembaga non-formal tampaknya cukup besar dan mempunyai peluang untuk dikembangkan lebih jauh untuk dapat lebih mendukung program-program pembangunan masyarakat desa.
Sebagian besar masyarakat mempunyai mata pencaharian dalam sektor pertanian tanaman pangan (70-80%), sedangkan lainnya dalam sektor-sektor perkebunan, peternakan, industri/pengrajin, buruh-buruh, perdagangan dan jasa-jasa lainnya seperti jasa angkutan. Angkatan kerja (terutama angkatan muda) di seba­gian besar wilayah pedesaan tidak semuanya tertampung dalam lapangan kerja di pedesaan, sebagian bekerja sebagai buruh bangunan atau bidang jasa lain  di luar wilayah kecamatan.
Persepsi, sikap, dan motivasi masyarakat pedesaan untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik pada umumnya sudah benar.  Hal ini tercermin dalam etos kerja masyarakat pedesaan "yang tidak mengenal lelah" dalam mengelola sumberdaya alam yang dikuasai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

e. Penguasaan Modal dan Teknologi
Umumnya penguasaan masyarakat pedesaan terhadap modal dan teknologi sangat terbatas.  Meka­nisme akumulasi modal hanya bertumpu kepada hasil produksi pertaniannya yang relatif rendah, akses terhadap fasilitas modal formal sangat terbatas atau bahkan tidak ada.  Teknologi yang dikuasai berasal dari "warisan orang tua", sedangkan kegiatan transfer teknologi melalui agensi-agensi formal masih sangat terbatas.  Peranan kelembagaan non-formal dan tokoh panutan non-formal lebih berperanan dibandingkan dengan kelembagaan formal.
Kurangnya kegiatan-kegiatan/fasilitas lapangan kerja di luar bidang pertanian primer tampaknya berkaitan erat dengan keterbatasan penguasaan modal dan teknologi oleh penduduk dan kurangnya informasi pasar di luar daerah. Program-program pelat­ihan ketrampilan dan kredit formal selama ini masih belum mampu menjangkau kelo mpok masyarakat miskin di pedesaan . Program kredit formal yang ada selama ini kurang menarik di kalangan mereka, karena penyaluran kredit tersebut harus melibatkan prosedur yang dianggap cukup rumit.

f. Kelembagaan Penunjang
Kelembagaan formal penunjang pembangunan yang ada di pede saan umumnya belum mampu berkiprah secara memadai, berbagai kendala dan keterbatasan senantiasa dihadapi oleh kelembagaan formal untuk dapat menggalang partisipasi masyarakat pedesaan.  Pada umumnya lembaga non-formal, seperti kelompok arisan, kelom­pok pengajian dan pondok-pesantren (dengan Kyai panutannya) lebih mampu menggalang partisipasi dan keswadayaan masyarakat pedesaan. Sarana dan prasarana transportasi di wilayah pedesaan umumnya sangat terbatas, terutama untuk melayani hubungan antar desa, demikian juga hubungan dengan pusat kecamatan .  Sedangkan hubungan antara pusat kecamatan dengan pusat kota kabupaten umumnya telah memadai. 
Kelembagaan sosial-ekonomi formal di pedesaan umumnya belum dapat menjangkau kepentingan kelompok masyarakat miskin, karena adanya berbagai persyaratan birokrasi dan agunan yang rumit.  Hal ini mendorong berkembangnya berbagai bentuk kelemba­gaan non-formal di kalangan masyarakat dengan tokoh panutannya masing-masing. Lembaga keuangan pedesaan non-formal (pelepas uang, pedagang) umumnya lebih mampu menjangkau kelompok masyara­kat miskin dengan berbagai kemudahan pelayanannya, meskipun sesungguhnya dibarengi dengan "tingkat bunga yang sangat tinggi".

Gambaran mengenai orang miskin

(1). Rumahtangga miskin mempunyai keragaman kondisi individu dan lingkungannya yang sangat besar; baik ragam kondisi dan lokasi tempat tinggalnya, ragai pekerjaannya, ragam tingkat kemiskinan nya, faktor-faktor penyebab kemiskinan­nya, maupun ragam keinginan maupun upaya-upaya yang dilak­ukannya untuk meng-atasi kemiskinan.  Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk mengidentifik­asi dan menemukenali orang miskin dan keluarganya di pedesaan. 
(2). Umur dan pendidikan kepala rumahtangga miskin (KRTM). Sebagian besar (90-95 persen) KRTM menammatkan sekolah dasar, hal ini berarti mereka bekerja adalah pekerja yang tidak mempunyai keakhlian (unskilled-labourers); dan yang tidak pernah sekolah adalah 30-40 persen dari seluruh KRTM. Sekitar 0.1 persen dari KRTM yang tammat Akademi/Universitas adalah termasuk kelompok miskin. Hampir 40 persen dari KRTM telah berumur lebih dari 50 tahun, dalam umur manula ini barangkali sangat sedikit diharapkan tenaga­kerjanya untuk dapat bekerja dengan baik untuk meningkatkan pendapatannya.
(3). Lapangan Usaha dan Status Pekerjaan KRTM:
a.  Sebagian besar (65 persen) dari status usaha dari KRTM adalah sektor non-formal. Di pedesaan sebagian besar bekerja di lapangan usaha sektor pertanian sedangkan di kota bekerja di sektor perdagangan.
b.  Sejumlah 2.5 persen tidak bekerja sama sekali, walaupun mereka tidak bekerja dan mereka ini tidak berusaha mencari kerja. Kemungkinan pendapatan yang mereka butuhkan berasal dari anggo­ta keluarga yang bekerja. Dalam situasi demikian akan sulit bagi Pemerintah untuk membantu KRTM untuk menambah pendapatannya; atau sasarannya bukan KRTM tetapi anggota keluarganya.

(4). Kondisi Geo-fisik  wilayah pedesaan miskin dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu zone pegunungan vulkanis yang subur, zone pengunungan kapur dengan kapabilitas lahan yang rendah; dan zone pesisir-pantai. Jumlah KRTM miskin secara persentase yang terbesar berada di zone pesisir-pantai.
(5). Indikator yang  cukup  obyektif  untuk  dapat digunakan menemukan keluarga miskin secara visual adalah kondisi fisik rumah tempat tinggalnya. Empat parameter utama yang dapat digunakan secara hierarkhis adalah jenis lanpai dan luasnya, jenis lampu penerangan di dalam rumah, dan jenis dinding; sedangkan parameter penunjang yang dapat digunakan adalah luas pekarangan dan sumber air minum untuk memenuhi kebutuha keluarea sehari-hari. 
a.  Rumah tangga miskin di pedesaan Jawa Timur umumnya dicirikan oleh rumah tempat tinggal yang lantainya berupa tanah dipadatkan seluas 40-50 m2, lampu penerangan di dalam rumahnya adalah "sentir", dan dindijg rumahnya terbuat dari anyaman bambu (gedek). 
b.  Indikator penunjangnya adalah sumber air minum dari mata air atau sungai, dan luas pekarangannya 500 - 1000 m2 di sekeliling rumah.  Informasi mengenai parameter-parameter tersebut dapat diperoleh dari catatan `i kantor desa, pamong desa (Kadus, ketua RW atau ketua RT), key informans karang taruna, atau dengan observasi langsung di lapangan.

Pendekatan Pemberdayaan

A. Kebijakan Pembangunan

(1). Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan yang kemudian meningkat menjadi kesenjangan dan ketimpangan.  Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada peluang dan kegiatan ekonomi sehingga semakin tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai poten­si lebih tinggi dan akses yang lebih baik.  Keadaan kemiski­nan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan, dan pada dasar­nya dapat dibedakan dalam kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. 
(2). Upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin melalui program pembangunan yang telah dilaksanakan dalam bentuk program pembangunan sektoral, regional, dan khusus, baik secara langsung maupoun tidak lanbgsung dirancang untuk turut memecahkan tiga masalah utama pembangunan, yakni penganggu­ran, ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan. 
(3). Program Sektoral umumnya berorientais pada peningkatan produksi dan produktivitas, dan pembangunan prasarana dan sarana fisik yang secara lasngsung menunjukkan pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidi­kan dan kesehatan. Program pembangunan regional diarahkan pada pengembangan potensi dan kemampuan sumberdaya manusia dan prasarana dasar yang ada di daerah, khususnya daerah pedesaan sehingga swadaya dan kreativitas masyarakat dapat ditingkatkan. 
(4). Program pembangunan yang dilaksanakan dalam PJP II diharapkan akan benar-benar dapat mengurangi jumlah penduduk miskin.  Namun disadari pula bahwa upaya ini tidak mudah karena penduduk miskin yang tersisa dewasa ini adalah yang terendah kemampuannya dan semakin terkonsentrasi di kantong- kantong kemiskinan, mereka terperangkap oleh keterisolasian dan keter belakangan, yang hanya dapat ditembus dengan upaya khusus diselenggarakan untuk mengatasinya.
(5). Upaya tersebut tertuang dalam tiga arah kebijaksanaan:
(a).  Kebijaksanaan tidak langsung yang diarahkan pada pencip­taan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya penang gulangan kemiskinan,
(b). Kebijaksanaan yang langsung ditujukan kepada masyarakat miskin
(c).  Kebijaksanaan khusus yang dimaksudkan untuk mempersiapkan penduduk miskin tersebut sendiri dan aparat yang bertanggung jawab langsung terhadap kelancaran program, dan sekaligus memacu dan memperluas upaya untuk menanggulangi kemiskinan.

(6). Tekanan paling utama dari kebijaksanaan yang langsung ditujukan kepada masyarakat miskin harus diletakkan pada perbahkan pelakunya terutama menyangkut pemenuhan kebutuhan dasarnya dan pengembangan kegiatan ekonominya.  Dalam rangka itu pula, pelayanan bagi orang jompo, penderita cacat, yatim piatu, dan kelompok masyarakat lain yang memerlukan merupakan bagian tak terpidsahkan dari upaya menanggulangi kemiskinan. Program ini harus dilaksanakan secara selektif dan terarah dengan memperhitungkan eketersediaan sumberdaya.  Langkah yang diperlukan adalah meningkatkan efek tivitas, efisiensi dan jangkauan program tersebut.  Searah dengan itu pengemban­gan sistem jaminan sosial secara bertahap perlu terus diting­katkan. 
(7). Program-program pembangunan sektoral yang secara tajam diarahkan pada masyarakat miskin dapat dipandang sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar, a.l. pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan.  Untuk dapat merencana­kan program pembangunan sektoral yang akurat diperlukan suatu metoda penentuan kelompok sasaran yang mapan.  Sehubungan dengan itu pengembangan informasi dasar yang terkait dengan profil penduduk miskin dan wilayah miskin harus dapat diguna­kan sebagai dasar bagi penentuan kelompok sasaran secara tepat dan terarah.
(8). Pihak yang mengetahui secara persis permasalahan dan lokasi kantong-kantong kemiskinan di daerah adalah aparat setempat. Semakin dekat pelaksanaan proyek dan kegiatan dengan kelompok sasaran diperkirakan akan semakin efektif. Oleh sebab itu pendelegasian wewenang atau desentra­lisasi dalam perencanaan,dan pelaksanaan harus menjadi tanggung jawab bersama dari segenap pelaku ekonomi dan masya­rkat secara keseluruhannya.  dalam rangka itulah upaya penanggulangan kemiskinan harus ditempatkan sebagai gerakan nasional yang meliputi semua pihak baik pemerintah, dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi- organisasi kemasyaraka­tan dan lembaga swadaya masyarakat.
(9). Upaya untuk meningkatkan kemampuan berproduksi dan menciptakan nilai tambah harus diawali dengan hal-hal berikut ini:
(a). Adanya akses terhadap sumberdaya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang berupa ketrampilan,
(b).  Adanya akses terhadfap teknologi, yaitu suatu kegiatan dengan cara dan alat yang lebih baik dan lebih efisien,
(c).  Adanya akses terhadap pasar, dimana produk yang dihasilkan harus dapat dijual untuk mendapatkan nilai tambah.

Dengan demikian penyediaan sarana produksi dan  peningkatan ketrampilan harus diimbangi dengan  tersedianya pasar hasil produksi secara teratur.   Hal ini juga berarti pula adanya akses terhadap sumber pembiayaan.  Oleh karena itu pengemban­gan sistem perkreditan harus diarahkan pada sistem yang mampu menjangkau masyarakat papan bawah.

B. Rasional Metoda Pengentasan Kemiskinan

Pendapatan suatu rumahtangga di pedesaan dapat diperoleh dari tiga sumber yaitu berusaha, bekerja, dan perolehan dari pemili­kan aset. Rumah tangga miskin biasanya tidak atau sangat sedikit memiliki aset yang dapat mendatangkan penghasilan. Sumber pendapatan yang pertama, yaitu berusaha dengan sekala snagat kecil-kecil dan/atau bekerja sebagai buruh, kedua hal inilah yang paling mungkin untuk ditingkatkan, terutama bagi mereka yang memang ingin bekerja dan berusaha.
Beberapa arah dari bantuan kepada masyrakat miskin adalah sbb:
(a). Pembangunan  fasilitas  yang  dapat  meningkatkan kemampuan dan kese­jahteraan orang miskin secara langsung.
       Kesejahteraan penduduk miskin sangat berkaitan dengan kemampuannya untuk mengelola sumberdaya alam dan lingkungan­nya. Oleh karena itu untuk desa yang paling miskin perlu segera dibangun fasilitas-fasilitas yang dapat meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan orang miskin, berupa prasarana sosial ekonomi, pendidikan dan pelatihan ketrampilan, keseha­tan, perumahan dan lingkungan permukiman. Disadari cara ini tidak ekslusif, keluarga yang tidak miskin juga memperoleh manfaat, dan biaya untuk keperluan ini tidak perlu diambil dari dana bantuan khsus bagi orang miskin.
(b).  Pengentasan kemiskinan melalui mekanisme pasar kerja harus dapat diciptakan dengan mendorong industri yang dapat menyerap tenaga kerja berarti industri yang menggunakan teknologi "labour using" melalui pengembangan kawasan industri milik masyarakat. Peningkatan pembangunan akan mengakibatkan permintaan terhadap tenaga kerja yang berbeda-beda tergantung dari sifat teknologi yang digunakan. Pengembangan ekonomi makro ini juga harus dijadikan strategi untuk menyerap tenaga kerja maupun pelaksanaan upah minimum yang mengarah pada kebutuhan hidup minimum yang layak.
(c).  Peningkatan pendapatan masyarakat miskin akan sulit diperoleh dari usaha peningkatan bahan pangan. Oleh karena itu program pengembangan agrokompleks harus diarahkan kepada komoditi yang mempunyai nilai ekonomis tinggi seperti tanaman hortikultura.  Permasalahannya terletak pada sektor pemasaran yang sangat lemah, karena tidak adanya integrasi dalam sisi produksi dan pemasa­ran. Program untuk produktivitas misalnya dengan penyebarluasan bibit tanaman perlu dilakukan, dengan menggalakkan model kebun bibit yang dapat disebarkan kepada wilayah miskin.


Strategi Mengatasi Kemiskinan

Penanggulangan penduduk miskin merupakan upaya untuk mengubah suatu keadaan atau kondisi masyarakat yang standar hidupnya sangat rendah pada kondisi yang lebih baik dalam artian ekonomi, sosial-budaya dan politik. Hal ini berarti menyangkut usaha-usaha pertumbuhan modal, tanaga kerja berkualitas, kesempatan kerja, perkembangan teknologi, baik yang bersifat fisik maupun non fisik.
Menurut Nasikun (1986) kerangka kebijakan pembangunan yang paling efektif untuk mengatasi kemiskinan yaitu suatu kerangka yang secara seimbang mengakomodasikan tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi di satu pihak dan pemertaan hasil-hasil pembangunan melalui program-program pembangunan yang bersifat distributif di lain pihak. Kerangka tersebut harus mengan­dung perpaduan yang serasi antara peningkatan dan pemantapan program- program pembangunan pertanian dan pengembangan program-program industria­lisasi yang memiliki kaitan-kaitan yang kuat dengan pengembangan sektor pertanian.
Program-program pembangunan pertanian yang perlu dimantapkan dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan adalah penanganan masalah pasca panen, diversifikasi sub-sektor tanaman pangan, pengembangan sub-sektor peterna­kan, pengembangan sub-sektor perkebunan melalui sistem PIR-BUN. Di dalam sektor industri, prioritas yang lebih tinggi perlu diberikan kepada pengembangan sub-sektor industri berskala kecil (small scale industry) yang disentralisasikan. Selain itu diperlukan pula serangkaian kebijakan pengembangan program-program sosial berupa penyelenggaraan "relief pro­grammes" misalnya : program bantuan pangan (foo stamp programmes), pro­gram pembagian catu-pangan (free food rationing programmes) dan program subsidi karya pangan (food price subsidy programmes).
Menurut Both dan Sundrum (1982), untuk mengatasi masalah-masalah distribusi pendapatan dan kemiskinan maka perlu diperhatikan berbagai determinannya, yaitu :
1. Pemilikan, penguasaan, pengusahaan dan distribusi tanah- tanah perta­nian.
2. Perolehan (acces) lahan diantara penduduk.
3. Penggantian pemanfaatan  tenaga  kerja  dan  penggeseran tingkat upah di wilayah pedesaan.
4.  Term  of trade  sektor  pertanian,  baik  yang  bersifat barter term of trade maupun income term of trade.
5. Perolehan pekerjaan, pendapatan dan pendidikan di antara penduduk.
6. Disparitas antara perkotaan dan pedesaan.
Berkaitan dengan ke enam determinan di atas, maka menurut Both dan Sundrum, determinan-determinan utama distribusi pendapatan, perolehan tanah, tingkat pendidikan sesudah SD dan kesempatan menjadi pegawai pemerintah di Indonesia sangat menonjol perbedaannya. Jika perbedaan- perbedaan itu terus melebar maka distribusi pendapatan masyarakat Indone­sia akan semakin timpang, dan trend pertentangan sosial yang sedang berjalan akan terus berlangsung dan bahkan bisa semakin memburuk.
Oleh sebab itu, ada tiga langkah pokok yang harus diambil pemerintah dalam kebijaksa­naan pembangunannya, yaitu :
1.    Memperluas  akses terhadap sumberdaya lahan melalui kebijakan-kebijakan "land reform" yang lebih. Kebijakan  pemerintah  di  bidang pertanian harus diarahkan kepada penggunaan teknologi penambah lahan daripada teknologi pengganti tenaga kerja.
2.    Menaikkan hasil kegiatan produktif yang diterima penduduk miskin melalui penghapusan hubungan eksploitatif dalam pasar tenaga kerja dan pasar kredit.
3.    Menempatkan tenaga kerja yang sekarang bekerja dan pekerjaan yang produktifitasnya rendah, baik dalam bidang pertanian maupun bidang-bidang lainnya, ke dalam pekerjaan-pekerjaan yang tingkat produktifitasnya lebih tinggi di sektor non pertanian.


Model-Model Pemberdayaan

A. Model Program Padat Karya Agribisnis (PPKA) .
Model bantuan ini lebih bersifat konsumtif bagi tenaga kerja buruh, namun sekaligus jua untuk mendorong munculnya wirausa­ha-wirausaha kecil di pedesaan. Model ini sifatnya kemitraan antara tenaga buruh di pedesaan dengan pedagang/pengusaha agribisnis kecil di pedesaan. Tenaga buruh mendapat kesempa­tan untuk bekerja dengan upah harian yang memadai untuk menggarap lahan-lahan tidur atau lahan-lahan yang tidak tergarap, sedangkan pedagang/pengusaha mendapat bahan dagan­gan dari hasil usaha tersebut.


B. Model Pembinaan Kelompok Produktif Petani-Nelayan Kecil
Salah satu kendala serius dalam upaya mengentaskan petani dan nelayan miskin adalah karena tingginya perilaku konsumtif. Pengubahan perilaku ke arah lebih produktif memerlukan ketekunan dan upaya-upaya yang kontinyu.

C. Model SPAKU-PONPES
Model Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (tanaman) yang melibatkan Pondok Pesantren sebagai "Change agent". Para petani berkelompok membentuk KUBA (Kelompok Usaha Bersama Agribisnis) sehingga usahatani uang dilakukan­nya mencapai sekala ekonomi.

D. Model Kelompok perguliran bantuan ternak (SPAKU ternak)
Beberapa macam model perguliran bantuan dan sistem bagi hasil ternak telah dikenal di wilayah pedesaan, terutama yang menyangkut ternak sapi potong atau sapi kereman.  Penyimpan­gan biasanya terjadi karena lemahnya pengawasan dan peman­tauan serta bimbingan kepada para pemelihara ternak. Pemberi­an bantuan bibit sapi potong diberikan kepada kelompok peter­nak yang dibentuk oleh para anggotanya sendiri dan dipimpin oleh seorang di antara mereka. Perguliran bibit ternak dapat diatur di antara anggota kelompok atau  antar kelompok. Bibit kambing atau domba dapat diberikan  secara individu kepada rumah tangga paling miskin yang diperkirakan akan menghadapi resiko terlalu besar kalau diberi bantuan bibit sapi.

E. Model Koperasi Agroindustri (KOPAGI)
Koperasi ini membina para anggotanya untuk membentuk kelompok usaha bersama agroindustri (terutama pengolahan hasil-hasil pertanian) dengan memanfaatkan kredit murah bagi para anggota koperasi (KKPA). Dalam pembinaan manajemen dan inovasi teknolo­gi, KOPAGI menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga/instansi terkait seperti BLKI, LITBANG, Perguruan Tinggi, Dinas/instansi teknis melaksanakan DIKLAT bagi anggota. Dalam hal pemasaran KPOAGI menjadi kerjasama dengan para pedagang, dan pusat-pusat pertokoan seperti WASERDA, SUPERMARKET, Kios-kios, dan lainnya. Aktivitas-aktivitas ekonomis tersebut dapat disinergiskan dalam bentuk Kawasan Industri (komoditi unggulan wilayah) Milik Masyarakat.


F.  Model Lembaga Keuangan bagi Orang Miskin   (LKOM)
Lembaga keuangan ini menyediakan kredit khusus untuk orang miskin yang telah memiliki usaha di sektor non-produksi pertani­an, bertujuan mendorong usaha berdasarkan bidangnya tanpa banyak ikut mencampuri usaha yang dilakukan. Lembaga keuangan bertujuan memberikan pelayanan kredit yang mudah walaupun tidak terlalu murah, dengan arah penggunaan yang dikehendaki oleh nasabah. Hipotesa MODEL ini adalah pada prinsipnya (a) orang miskin itu biasanya jujur, (b) dengan pelayanan yang mudah, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan nasabah - mereka akan bersedia mengembalikan kredit, (c) pelayanan kredit orang miskin membu­tuhkan biaya per unit yang cukup tinggi.

G. Model Bantuan Hibah Bersaing.
Model bantuan hibah ini lebih bersifat konsumtif atau untuk investasi sumberdaya manusia yang dampaknya berjangka panjang (pendidikan atau kesehatan). Pemberian bantuan hibah harus benar-benar bersaing, artinya harus sampai kepada kelompok orang paling miskin yang ada di desa dan benar-benar paling memerlukan. Pemilihan kelompok sasaran dilakukan dengan pendekatan partisipasi, melibatkan karang taruna atau kelom­pok dasa-wisma setempat. Salah satu teladan adalah program bantuan untuk mengatasi GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodine) dan Program Pemberdayaan Tokoh Masyarakat (PPTM).




Korupsi
Selalu saja masalah korupsi dibicarakan publik,
terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli
mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang
pro adapula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan
negara dan dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa.
Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur
pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan
pembangunan pada umumnya.
Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat
diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang
eksak. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang
pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus
diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang
memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak.
Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang
berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat
dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata
masyarakat.
Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma
sampai abad pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai negara,
tak terkecuali di negara-negara maju sekalipun. Di negara Amerika Serikat sendiri
yang sudah begitu maju masih ada praktek-praktek korupsi. Sebaliknya, pada
masyarakat yang primitif dimana ikatan-ikatan sosial masih sangat kuat dan kontrol
sosial yang efektif, korupsi relatif jarang terjadi. Tetapi dengan semakin
berkembangnya sektor ekonomi dan politik serta semakin majunya usaha-usaha
pembangunan dengan pembukaan-pembukaan sumber alam yang baru, maka
semakin kuat dorongan individu terutama di kalangan pegawai negari untuk
melakukan praktek korupsi dan usaha-usaha penggelapan.
Korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan
yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif lambat, sehingga setiap orang
atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalanimbalan
dengan cara memberikan uang pelicin (uang sogok). Praktek ini akan
berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah dan
masyarakat, sehingga timbul golongan pegawai yang termasuk OKB-OKB (orang
kaya baru) yang memperkaya diri sendiri (ambisi material).
Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka mau tidak mau korupsi
harus diberantas. Ada beberapa cara penanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya
preventif maupun yang represif.

PENGERTIAN KORUPSI

Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari
struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya
mempunyai makna yang sama.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi,
merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah
pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap
sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan
formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk
memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan
yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan
mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan
melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan
mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan
si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk
balas jasa juga termasuk dalam korupsi.
Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga
yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada
keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai
hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan
yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah
tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.

SEBAB SEBAB KORUPSI
Sebab-sebab korupsi
Ada beberapa sebab terjadinya praktek korupsi. Singh (1974) menemukan
dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India adalah kelemahan
moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2
%), hambatan struktur sosial (7,08 %).
Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi
adalah sebagai berikut :
1   Peninggalan pemerintahan kolonial.
2   Kemiskinan dan ketidaksamaan.
3   Gaji yang rendah.
4   Persepsi yang populer.
5   Pengaturan yang bertele-tele.
6   Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya
7   Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik
8        Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
9        Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
10    Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
11    Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
12    Lemahnya ketertiban hukum
13    Lemahnya profesi hukum
14    Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa
15    Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
16    Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
17    Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".

Di sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi
yaitu :
a. Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b. Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c. Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah
dengan upeti atau suap.
d. Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan
dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
e. Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat
dihindarkan.
f. Menurut kebudayaannya, orang Nigeria Tidak dapat menolak suapan dan
korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
g. Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi
pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Dari pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab
terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
1. Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,
administrasi yang lamban dan sebagainya.
2. Warisan pemerintahan kolonial.
3. sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak
ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah
AKIBAT AKIBAT KORUPSI
Nye menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah :
1.     Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman
modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2.  ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer,
     menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3.  pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas
     administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
                                     
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah
ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah,
memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha
terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam
kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat
korupsi diatas adalah sebagai berikut :
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap
perusahaan, gangguan penanaman modal.
Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri,
hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
          Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,
hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan
kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
                       
DAMPAK NEGATIF KORUPSI

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal,ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar



UPAYA PENANGGULANGAN KORUPSI

Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin
mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan
terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu
mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies
the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung
jawab.
Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang
masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan.
Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk
menanggulangi korupsi sebagai berikut :
a. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah
pembayaran tertentu.
b. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
c. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah
pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan,
wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling
bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara
jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan
meningkatkan ancaman.
e. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi
dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban
korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya
ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi
kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized)
tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal
dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk
kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi
haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan
dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman
hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan
korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan
administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih
disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras,
kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh
mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial
ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan termasuk polisi
harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat
lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak
pula.
Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara
pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi
deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat
masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan
timbulnya korupsi.
Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan
partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan
nasional.
3. para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak
korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum
tindak korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui
penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan
bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran
administrasi pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab
etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok
dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi
korupsi, perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para
koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal
yang memalukan lagi.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya
penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :
a. Preventif.
1. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi
pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara
milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2. mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri
sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan
pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa
oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap
jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa
mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa
pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
4. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam
memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
5. menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk
kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung
disalahgunakan.
6. hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of
belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa
peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu
berusaha berbuat yang terbaik.
b. Represif.
1. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.

KASUS KASUS KORUPSI DI INDONESIA
Jika dirunut, masih banyak masalah KKN di negara ini yang dalam proses hukumnya berhenti di tengah jalan. Berikut adalah kasus-kasus KKN besar yang menunggu untuk diselesaikan.

SOEHARTO

Kasus Soeharto Bekas presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan jika ia sudah sembuh?walaupun pernyataan kejaksaan ini diragukan banyak kalangan.


PERTAMINA


Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.

Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut.

Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4 juta.

Korupsi di BAPINDO


Tahun 1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dilakukan oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya, Negara dirugikan sebesar 1.3 Triliun.


HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young


Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.

Bob Hasan telah divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada negara dan denda Rp 15 juta. Kini Bob dikerangkeng di LP Nusakambangan, Jawa Tengah.

Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya.

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)


Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.

Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik banding.
Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern).

Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus





Abdullah Puteh


Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan kerugian Rp 30 miliar.

Kasusnya kini masih ditangani pihak kejaksaan dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi.


KESIMPULAN
1. Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai
demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya.
2. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak
sendi-sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa.
3. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif. Pencegahan
(preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun
etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik
negara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan
penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut
kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau
atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan
kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial,
menumbuhkan rasa “sense of belongingness” diantara para pejabat dan pegawai.
Sedangkan tindakan yang bersifat Represif adalah menegakan hukum yang
berlaku pada koruptor dan penayangan wajah koruptor di layar televisi dan
herregistrasi (pencatatan ulang) kekayaan pejabat dan pegawai.